epajak.or.id Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan , Si Juna dan Dilema Pajak Masukan di Coffee Shop Baru. “Jun, lu yakin mau buka coffee shop? Pajaknya ribet lho.” Reza menatap Juna yang lagi nyusun rencana bisnis di coworking space.
Juna ngangguk mantap. “Gue udah riset. Tenang, udah banyak baca soal pajak pertambahan nilai. Apalagi soal pajak masukan dan pajak keluaran, itu krusial.”
Reza cengo. “Itu apaan?”
Juna nyengir. “Gini bro, jadi kan setiap pengusaha yang udah dikukuhkan jadi Pengusaha Kena Pajak, alias PKP, wajib ngurusin PPN. Nah, saat kita beli barang atau jasa yang kena PPN, itu disebut pajak masukan. Sedangkan pas kita jual, itu namanya pajak keluaran.”
“Jadi intinya, lu bisa ngurangin pajak keluaran dengan pajak masukan gitu?”
“Exactly,” kata Juna sambil buka spreadsheet. “Misalnya nih, gue beli mesin kopi, alat brewing, bahan baku—semuanya dikenain PPN 11 persen. Itu pajak masukan. Nah, pas gue jual kopi, harganya udah termasuk PPN juga. Gue tinggal ngitung, mana yang lebih gede.”
“Kalau pajak keluarannya gede?”
“Ya berarti gue harus setor ke negara. Tapi kalau pajak masukannya lebih gede, bisa gue kompensasikan ke masa pajak berikutnya. Atau gue ajukan restitusi.”
Reza mulai paham. “Tapi pasti nggak segampang itu kan?”
“Nah itu dia. Pengkreditan pajak masukan ada syaratnya. Harus memenuhi aturan Pasal 9 UU PPN. Faktur pajaknya harus lengkap—harus ada nama dan NPWP penjual dan pembeli, jenis barang atau jasa, harga, PPN-nya, sampai nomor seri faktur.”
Reza nyeletuk, “Ribet banget sih, kayak ujian skripsi.”
Juna ketawa. “Makanya sekarang semua pakai faktur elektronik. Tanda tangan juga elektronik pakai sertifikat digital. Gampangin proses tapi tetep harus teliti.”
Setelah buka coffee shop-nya di Jakarta Selatan, Juna mulai ngalamin sendiri tantangan di lapangan. Bulan pertama, pajak keluarannya lebih kecil dari pajak masukannya. Tapi bulan kedua kebalik—pajak keluarannya melonjak karena mulai banyak pesanan catering.
Akhirnya dia ketemu dengan konsultan pajak langganan temennya, Mbak Tyas.
“Mas Juna, perlu dicek dulu, apakah semua faktur pajaknya valid. Jangan sampai ada yang nggak bisa dikreditkan,” kata Mbak Tyas sambil ngebuka e-SPT.
“Ada kriteria tertentu ya, Mbak?”
“Iya, misalnya kalau lo beli barang sebelum lo resmi jadi PKP, itu pajak masukannya nggak bisa dikreditkan. Atau lo beli mobil operasional model sedan, itu juga nggak boleh dikreditkan, kecuali buat disewain.”
Juna manggut-manggut. “Terus kalau faktur pajaknya kurang data?”
“Kalau informasinya nggak lengkap, apalagi nggak ada NPWP lo, bisa hangus pajak masukannya. Jadi, semua harus dicek sebelum diklaim.”
Sambil ngopi bareng timnya, Juna juga nemuin satu problem: ada transaksi yang nyampur antara yang kena PPN dan yang nggak. Misalnya, jasa sewa tempat untuk event mereka nggak kena PPN, tapi jualan kopinya kena.

“Nah lo,” kata Dira, barista senior yang juga bantu urus pembukuan. “Gimana ngitung pajak masukannya tuh?”
Juna akhirnya pake yang namanya pedoman pengkreditan. Jadi, ada rumus buat ngitung berapa persen dari pajak masukan yang bisa dikreditkan berdasarkan proporsi penyerahan yang kena pajak dibanding total penyerahan.
“Rumusnya P = PM x Z. P itu pajak yang bisa dikreditin, PM itu total pajak masukan, Z itu persentase penjualan kena pajak dibagi total penjualan,” jelas Juna ke Dira.
Tapi semua makin rumit pas akhir tahun. Juna harus ngitung ulang, apalagi beberapa barang kayak mesin espresso punya masa manfaat lebih dari satu tahun.
baca juga
- Pajak untuk Ekspatriat di Indonesia : Lo Bekerja di Sini, Artinya Kewajiban Lo Juga Dimulai di Sini
- Pajak untuk Freelancer: Apa yang Harus Lo Tahu Sebelum Kena Teguran
- Kena Pajak THR & Hadiah Nikah? Sialnya Gue Baru Tahu Setelah Dapat Amplop 100 Juta dari Om Gue
- Gue Lupa Lapor Pajak dari ETH Tahun Lalu… Sekarang Dikejar Karena Bored Ape
- Cara Artis Menggunakan Konsultan Pajak
“Berarti harus hitung ulang pake P’ = PM/T x Z’ ya?” tanya Dira sambil buka kalkulator.
“Bener,” jawab Juna. “T itu masa manfaat. Kalau alatnya tahan 4 tahun, berarti dibagi 4. Z’ itu persentase penyerahan kena pajak di akhir tahun.”
Pas omzet Juna masih kecil, di bawah 1,8 miliar setahun, dia sempat pake metode yang lebih simple sesuai PMK 74. Dia tinggal ngambil 60% dari pajak keluaran buat jasa kayak pelatihan barista, dan 70% buat barang kayak kopi kemasan.
“Itu kayak cheat sheet sih, tapi nggak bisa selamanya,” kata Mbak Tyas waktu review tahunan. “Begitu omzet lo lewat 1,8 M, lo wajib balik ke metode normal. Harus ngitung beneran, nggak bisa asal ambil persen.”
“Wah, untung gue tracking sejak awal ya,” jawab Juna lega.
Yang lebih menarik lagi, pas Juna nambah usaha jual beli mesin kopi bekas, dia baru tahu ada aturan khusus.
“Kalau jual kendaraan bekas, pajak masukannya yang bisa dikreditin cuma 90%,” kata Dira waktu ngebaca PMK 74 juga. “Berarti PPN yang lo setor ke negara cuma 1% dari harga jual.”
“Dan kalo jualan emas perhiasan, kayak temen gue si Alvin itu, dia pake skema 80%, jadi setor PPN-nya 2% dari harga jual,” lanjut Juna.
“Jadi sebenarnya negara ngasih fleksibilitas ya, tapi tetap dengan syarat yang ketat,” komen Reza yang akhirnya juga ikut-ikutan belajar pajak.
“Bener,” sahut Juna. “Dan semua itu harus dilaporin tiap bulan lewat SPT Masa. Kalau telat atau salah, bisa kena sanksi. Tapi kalau disiplin, sistemnya udah bantuin kita ngatur cash flow usaha.”
Juna yang awalnya cuma modal niat dan resep kopi dari neneknya, sekarang udah paham gimana pentingnya ngatur pajak masukannya dengan bener. Bahkan, dia bantuin UMKM lain di sekitar untuk ngerti soal pengkreditan PPN.
“Ada banyak cara buat suksesin usaha, tapi kalau lo nggak ngerti soal PPN, lo bisa rugi sendiri,” tutup Juna sambil nyeduh kopi spesial buat pelanggan loyalnya.
Tata Cara Pengkreditan Pajak Masukan , PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (5)
DALAM tata cara penghitungan pengkreditan pajak pertambahan nilai (PPN), dikenal istilah pajak masukan dan pajak keluaran. Secara singkat, pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan pembelian terhadap barang kena pajak (BKP) atau pemanfaatan jasa kena pajak (JKP). Sementara itu, pajak keluaran adalah pajak yang dikenakan ketika PKP melakukan penjualan BKP atau pemanfaatan JKP.
Dalam hal ini, PKP dapat mengurangkan atau mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak tersebut lebih besar pajak keluaran, kelebihan pajak keluaran harus disetorkan ke kas negara.
Sebaliknya, apabila dalam masa pajak tersebut pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, kelebihan pajak masukan dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan restitusi.
Dalam tata cara umum tersebut, jumlah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kena pajak berubah-ubah sesuai dengan pajak masukan yang dibayarkan dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak.
Pengkreditan Pajak Masukan Normal
Tata cara pengkreditan pajak masukan berkaitan erat dengan kondisi faktur pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang (UU) PPN. Pasal ini mengatur persyaratan faktur pajak yang dapat dikreditkan dan kondisi faktur pajak yang menyebabkan tidak dapat dikreditkan.
Berikut syarat-syarat faktur pajak yang dapat dikreditkan menurut UU PPN:
- Pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama.
- Pajak masukan yang belum dikreditkan pada masa pajak yang sama, masih boleh dikreditkan di masa pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
- Pajak masukan yang dikreditkan harus memenuhi persyaratan formal dan material.
- Pajak masukan yang dikreditkan harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau JKP yang paling sedikit memuat:
- Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan BKP atau JKP;
- Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
- Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
- PPN yang dipungut;
- PPnBM yang dipungut;
- Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak; dan
- Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.
Karena faktur pajak sekarang berbentuk elektronik, maka tanda tangan pun dibuat secara elektronik. Sertifikat elektronik merupakan tanda tangan bagi penerbit faktur pajak.
Adapun, PKP yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, pajak masukan atas BKP yang dialihkan dan belum dikreditkan oleh PKP yang mengalihkan maka pajak masukan tersebut dapat dikreditkan oleh PKP yang menerima pengalihan sepanjang belum dibiayakan atau dikapitalisasi.
Sedangkan, kondisi faktur pajak yang tidak dapat dikreditkan adalah:
- Perolehan BKP atau JKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;
- Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
- Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan “dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak”;
- Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
- Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
- Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi;
- Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya :
- tidak memenuhi ketentuan informasi minimal sebagaimana di atas;
- tidak memenuhi persyaratan formal dan material; atau
- tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP.
- Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN.
- Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya tidak terutang PPN.
Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan
Jika pengusaha melakukan penyerahan yang terutang PPN dan tidak terutang PPN atau dibebaskan, dan pengusaha tidak mengetahui atau mencampurkan antara pajak masukan yang atas penyerahannya dibebaskan atau tidak terutang dengan yang terutang PPN, maka pajak masukan yang dapat dikreditkan menggunakan pedoman pengkreditan.
Rumus untuk pedoman pengkreditan PPN:
P = PM x Z
Keterangan:
- P adalah jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan.
- PM adalah jumlah pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP.
- Z adalah persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap penyerahan seluruhnya.
PKP mengkreditkan pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP tersebut pada bulan perolehan BKP dan/atau JKP di SPT Masa PPN bulan perolehan BKP dan/atau JKP.
Pada akhir tahun buku, setelah diketahui berapa jumlah total penyerahan yang sebenarnya atas penyerahan yang terutang PPN, tidak terutang PPN atau dibebaskan PPN, PKP melakukan penghitungan kembali pajak masukan berdasarkan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan sebagai berikut:
1. Untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya lebih dari 1 (satu) tahun:
P’ = PM/T x Z’
Keterangan:
- P’ adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku.
- PM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
- T adalah masa manfaat BKP dan/atau JKP yang ditentukan sebagai berikut: untuk BKP berupa tanah dan bangunan adalah 10 (sepuluh) tahun dan untuk BKP selain tanah dan bangunan dan JKP adalah 4 (empat) tahun;
- Z’ adalah persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.
2. Untuk BKP dan JKP yang masa manfaatnya 1 (satu) tahun atau kurang:
P’ = PM x Z’
Keterangan:
- P’ adalah jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku.
- PM adalah jumlah pajak masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP,
- Z’ adalah persentase yang sebanding dengan jumlah penyerahan yang terutang pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku.
Pedoman pengkreditan PPN ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak.
PKP dengan Omzet Kurang dari Rp1,8 Miliar
PMK 74 mengatur bahwa PKP yang dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan yaitu:
- mempunyai peredaran usaha dalam 2 (dua) tahun buku sebelumnya tidak melebihi Rp1,8 miiliar untuk setiap 1 (satu) tahun buku; atau
- Wajib pajak yang baru dikukuhkan sebagai PKP.
Besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PMK 74 ini, yaitu sebesar:
- 60% dari pajak keluaran untuk penyerahan JKP, sehingga PPN yang dibayar sebesar 4% dari DPP; atau
- 70% dari pajak keluaran untuk penyerahan BKP, sehingga PPN yang dibayar sebesar 3% dari DPP.
PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan tidak dapat membebankan PPN atas perolehan BKP dan/atau JKP sebagai biaya untuk penghitungan pajak penghasilan.
Bila peredaran usaha PKP yang menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan tersebut sudah melebihi Rp1,8 miliar maka mulai masa berikutnya setelah peredaran usahanya melebihi Rp1,8 miliar, PKP tersebut sudah tidak boleh lagi menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak. Misalnya, pada bulan Juli, peredaran usaha sudah mencapai 1,8 miliar, maka mulai bulan Agustus PKP sudah tidak boleh lagi menggunakan pedoman pengkreditan ini.
Perlu dicatat, pedoman pengkreditan berdasarkan PMK 74 ini merupakan pilihan. Artinya, PKP yang memiliki omzet di bawah Rp1,8 miliar boleh menggunakan pedoman ini atau menggunakan mekanisme pengkreditan PKPM secara normal berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang PPN.
Pengkreditan Pajak Masukan PKP Tertentu
PMK 74 juga mengatur pedoman pengkreditan PPN untuk PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran dan PKP yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran.
Besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bekas adalah 90% sehingga PPN yang disetorkan ke kas negara sebesar 1% dari harga jual kendaraan bekas.
Sedangkan besarnya pajak masukan atas penyerahan emas ditentukan sebesar 80% sehingga PPN yang disetorkan ke kas negara sebesar 2% dari harga jual kendaraan bekas. Khusus untuk penjualan emas, sudah ada peraturan terbaru yaitu PMK Nomor 30/PMK.03/2014 namun tarifnya tetap sama.